PENDIDIKAN INKLUSI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1
dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan
khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan
bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula memperoleh
kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota
Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh
daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian
dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak
disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan
disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena
merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat
diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus
akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Permasalahan di atas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar,
dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik
yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan
pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena
tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Melalui
pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak melalui pendidikan di
sekolah terdekat
Pendidikan
inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa
pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi
merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan
dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk
berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan
masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata
lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus
yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi
yang dimilikinya.
Salah
satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa
penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan
pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman
kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum
mendapatkan pendidikan.
B. Rumusan
1.
Apa pendidikan
inklusif itu?
2.
Mengapa
pendidikan inkusif itu diperlukan?
3.
Kendala/Hambatan
dalam Pelakasanaan Pendidikan Inklusi ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Pengertian
ABK
Banyak istilah yang sering kita
dengar dalam lingkungan masya-rakat luas tentang sebutan Anak Luar Biasa (
ALB). Istilah tersebut ada anak cacat, anak berkelaianan, anak tuna, dan lain
sebagainya. Dengan penggunaan label istilah banyak dari mayarakat maupun tenaga
profesi-onal lain selain tenaga pendidik luar biasa yang ragu atau bingung dari
pemakaian istilah tersebut.
Kalau melihat dari sejarahnya bahwa
istilah yang pertama kali yang muncul ditengah masyarakat adalah “cacat”,
sedangkan istilah berke-lainan menunjukkan kepada keadaan yang sebenarnya yaitu
anak yang mengalami kelainan. Dan istilah tuna mengambarkan seseorang mengalami
kekurangan/ hambatan dalam segi fisik, mental, soisal maupun emosinya. Dalam
bidang pendidikan yang dikatakan Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang
mempunyai penyimpangan/kelainan baik fisik, mental, sosial dan atau emosinya
sehingga memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus.
Menurut pandangan Kirk dan Gallagher
(1986) yang diterjemahkan Moh. Amin mengatakan bahwa Anak luar Biasa
didefinisikan sebagai berikut” Anak luar Biasa sebagai anak yang berbeda dari
rata-rata anak normal dalam berbagai hal: (1) ciri-ciri mental, (2) kemampuan
panca indera, (3) kemampuan komunikasi, (4) perilaku sosial atau (5)
sifat-sifat fisiknya. Perbedaan ini harus lah sampai pada tingkat tertentu
sehingga anak tersebut membutuhkan praktek sekolah yang dimodifikasi kan atau
pelayanan pendidikan khusus untuk mengembangkan kemampuannya yang tertinggi.
Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus PP.N0.72 Tahun 1991 Bab III, Ps. 3 tentang Anak Berkebutuhan Khusus berbunyi: Jenis-jenis dari ALB dapat dilihat dari berbagai ragam kelainan antara lain adalah :
1. Anak tunanetra,
Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus PP.N0.72 Tahun 1991 Bab III, Ps. 3 tentang Anak Berkebutuhan Khusus berbunyi: Jenis-jenis dari ALB dapat dilihat dari berbagai ragam kelainan antara lain adalah :
1. Anak tunanetra,
Adalah mereka yang terganggu daya lihatnya sehingga mendapat
kesulitan dalam mengikuti program pendidikan seperti program pendidikan anak
normal lainnya, untuk itu bagi anak tunanetra perlu mendapatkan layanan,
latihan serta bimbingan agar potensi yang dimiliki dapat dikembangkan.
2. Anak tunarungu
Mereka kekurangan atau kehilangan pendengaran walaupun telah
diberikan ransangan tetapi tetap tidak dapat memahami atau menangkap reaksi
yang ada, sehingga menghambat terhadap perkembanganya, dan dampaknya kepada
kehidupan yang kompleks dengan demikian perlu layanan bimbingan dan pendidikan
khusus
3. Anak tunagrahita
Adalah mereka yang tidak mampu mengikuti pendidikan dengan
anak normal serta sulit berinteraksi sosial dengan masyarakat normal, hal ini
karena akibat dari kemampuannya berada dibawah normal
4. Anak tunadaksa
Adalah mereka yang mengalami kelainan pada organ tubuhnya
sehingga tidak dapat berfungsi (beraktivitas ) sebagaimana mestinya seperi
orang normal lainnya.
5.
Anak tunalaras
Adalah mereka yang menunjukkan tingkah laku emosi sosial
yang tidak sesuai dalam bertingkah laku
6. Anak tunaganda
Adalah mereka yang mengalami kecacatan lebih dari satu
(ganda kecacatan
7. Anak berbakat
Adalah mereka yang mempunyai kecerdasan luar biasa sehingga
memungkinkan untuk berprestasi yang tinggi, namun hal ini tidak selalu atau
dengan sendirinya terjadi, karena banyak faktor yang turut berperan dalam
menentukan .
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis
pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan
Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
a. Tuna
Netra
b. Tuna
Rungu
c. Tuna
Grahita: (a.l. Down Syndrome)
d. Tuna
Grahita Ringan (IQ = 50-70
e. Tuna
Grahita Sedang (IQ = 25-50)
f. Tuna
Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple
Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic,
Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
g. Kesulitan
Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis,
Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)
h. Lambat
Belajar ( IQ = 70 –90 )
i. Autis
j. Korban
Penyalahgunaan Narkoba
k. Indigo
2.
Pengertian
Inklusi
. Pendidikan inklusif
adalah penggabungan pandidikan regular dan pendidiakn khusus kedalamsatu sistem
persekolahan yang dipersatukan untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua
siswa.
Pendidikan inklusif bukan sekedar metode atau
pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang
mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun
kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut permen 70 Tahun 2009 pasal 1 menyatakan
bahwa Pendidikan Inklusif adalah system penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang
dilaksanakan di sekolah / kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik
tanpa kecuali, meliputi : anak yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus
sekolah karena sakit, kekurangan gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda
agama, penyandang HIV/ AIDS, dan sebagainya. Mereka dididik dan diberikan
layanan pendidikan yang sesuai dengan cara yang ramah dan penuh kasih sayang
tanpa diskriminasi.
Pendidikan inklusif adalah pendidikan reguler yang
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu
kesatuan yang sistemik. Pendidikan inklusif adalah pendidikan di sekolah biasa
yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal
diperuntukan bagi yang memiliki kelainan (intelectual challenge), bakat
istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidikan layanan khusus.
B.
Peran
SLB Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Pendidikan
inklusif yang diselenggarakan di sekolah regular sangat memerlukan dukungan
teknis, terutama bagi anak dengan kecacatan khusus, seperti tuna netra, tuna
grahita, tuna rungu, dan autism. Oleh karena itu pemerintah menyiapkan
institusi yang membantu sekolah-sekolah regular penyelenggara pendidikan
inklusif, berupa pusat sumber (Resourse Center). Lembaga ini dapat
dibentuk secara khusus, atau memfungsikan SLB Negeri atau Swasta yang sudah ada
dan memenuhi syarat untuk dipersiapkan menjadi pusat sumber, sehingga mampu
melaksanakan fungsi dan peran sebagai Pusat Sumber.
Menurut
Iim Wasliman (2009) Pusat Sumber (Resource Center) adalah lembaga
khusus yang dibentuk dalam rangka pengembangan pendidikan inklusif dan
dapat dimanfaatkan oleh semua anak, khususnya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK),
Orang tua, Keluarga, Masyarakat, Sekolah, Pemerintah dan pihak lain yang
berkepentingan untuk memproleh informasi yang seluas-luasnya, mendapatkan
pelatihan berbagai keterampilan, memperoleh berbagai pengetahuan yang
berhubungan dengan pendidikan inklusif.
Fungsi
SLB sebagai pusat sumber dikemukakan juga oleh Iim Wasliman (2009) yaitu:
- Sebagai pengambil inisiatif dan Aktif melaksanakan pendidikan inklusif, serta aktif membantu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusif,
- Sebagai koordinator dalam memberikan layanan pendidikan inkusif bagi sejumlah sekolah regular di gugusnya dan dengan berkolaborasi dengan pihak lain senantiasa berupaya untuk meningkatkan implementasi pendidikan inklusif,
- Sebagai pusat dukungan kepada sekolah-sekolah reguler dan Sekolah Luar Biasa lainnya dalam pelaksanaan pendidikan inklusif
- Sebagai Pusat Informasi dan Inovasi di bidang pendidikan inklusif.
- Sebagai home base bagi kelompok guru kunjung ke sekolah regular dalam melaksanakan bantuan teknis dalam layanan anak berkebutuhan khusus.
Adapun
peran SLB sebagai pusat sumber adalah (Iim wasliman, 2009):
- Memberikan informasi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan inklusif, baik kepada sekolah-sekolah regular, maupun SLB lainnya,
- Menyediakan bantuan asesmen yang rutin terhadap ABK,
- Memberikan layanan dan bimbingan kependidikan bagi ABK,
- Menjadi konsultan bagi semua pihak yang membutuhkan informasi, layanan, bimbingan dan penanganan khusus.
- Menjalin kerja sama dengan Dinas / Instansi / LSM dalam upaya implementasi pendidikan inklusif,
- Melakukan penelitian dan pengembangan, inovasi implementasi pendidikan inklusif, menyusun strategi dan metodologi pembelajaran yang cocok bagi semua anak,
- Melakukan penanganan layanan pendidikan bagi ABK dan memberi serta menerima rujukan atau referensi dalam layanan pendidikan inklusi
- Merencanakan dan menyelenggarakan diklat pendidikan inklusif bagi guru- guru di sekolah reguler dan SLB serta pihak lain yg membutuhkan.
- Menyediakan bantuan kepada berbagai pihak untuk meningkatkan layanan bagi ABK, serta menjadi fasilitator dan mediator bagi semua pihak dalam implementasi pendidikan inklusif,
- Mengatur guru yg ada di SLB untuk melakukan tugas tambahan sebagai Guru Pembimbing Khusus di Sekolah Inklusi
C.
Elemen-
Elemen Dasar Pendidikan Inklusi
Elemen
dasar pendidikan inklusi antara lain :
1. Sikap
guru yang positif tehadap keragaman.
2. Interaksi
promotif dalam pembelajaran kooperatif.
3. Pengembangan
kompetensi akademik yang seimbang dengan kompetensi social.
4. Konsultasi
kolaboratif antar professional.
5. Hidup
dan belajar dalam masyarakat.
6. Hubungan
kemitraan antara sekolah dan keluarga.
7. Belajar
dan berfikir independen.
8. Belajar
sepanjang hayat.
D.
Tujuan,
Landasan Pendidikan Inklusi
Tujuan
Pendidikan Inklusi
1. Memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutusesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya.
2. Mewujudkan
penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak
diskriminatif bagi semua peserta didik.
Adapun Tujuan Pendidikan Inklusif lainnya
Pendidikan
inklusif diselenggarakan dengan tujuan:
1.
Memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan
khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
2.
Membantu
mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
3.
Membantu
meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal
kelas dan putus sekolah
4.
Menciptakan
sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta
ramah terhadap pembelajaran
5.
Memenuhi
amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap
warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi
’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps.
5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak,
khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau
mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Ciri-ciri Pendidikan Inklusif
1. Siswa yang berusia sama duduk
dalam kelas yang sama.
2. Siswa saling bekerjasama dengan
sesamanya.
3. Siswa merasa kelas sebagai
milik besama.
4. Siswa memiliki pengalaman
berhasil.
5. Siswa belajar mengembangkan
sikap toleran.
6. Siswa belajar mengembangkan
sikap empati.
7. Guru menerima perbedaan.
8. Guru mengembangkan dialog
dengan siswa.
9. Guru mendorong terjadi
interaksi promotif antar siswa.
10. Guru menjadikan sekolah menarik bagi
siswa.
11. Guru membuat siswa aktif.
12. Guru mempertimbangkan perbedaan antar
siswa dalam kelasnya.
13. Guru menyiapkan tugas-tugas yang berbeda untuk
siswa-siswanya.
14. Guru fleksibel dan kreatif.
Landasan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
Bhineka
Tunggal Ika : Pengakuan kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi Tunggal
sebagai khalifah Tuhan di muka bumi untuk membangun kehidupan bersama yang
lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian manusia kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
2. Landasan Religi
Manusia sebagai Khalifah Tuhan
Yang Maha Esa.
Manusia diciptakan sebagai makhluk individual
differences agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.
3. Landasan Keilmuan
a.
Psikologi
b.
Sosiologi
c.
Anthropologi
d.
Biologi
e.
Ekonomi
f.
Politik
4. Landasan Yuridis
a.
UUD 1945
(amandemen) pasal 31 ayat 1: “setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.
b.
UU No. 20 tahun
2003 tentang system pendidikan nasional, pasal 3 menyatakan bahwa ” pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehi dupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa ” warga
negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Pasal 32 menyebutkan ”penidikan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa” .
c.
UU No. 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak,
d.
UU No. 4 tahun
1997 tentang penyandang cacat,
e.
PP No. 19 tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan,
f.
Surat Edaran
Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 /C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal
Pendidikan Inklusi bahwa di setiap Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia
sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu di jenjang SD,
SMP, SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah,
g.
Deklarasi
Bandung tanggal 8-14 Agustus 2004 tentang ”Indonesia menuju Pendidikan
Inklusi”,
h.
Deklarasi
Bukittinggi tahun 2005 tentang ” ”Pendidikan untuk semua” yang antara lain
menyebutkjan bahwa ”penyelenggaraan dan pengembangan pengelolaan pendidikan
inklusi ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah,
institusi pendidikan, istitusi terkait, dunia usaha dan industri, orangtua dan
masyarakat”.
E.
Tugas
Pemerintah
Pemerintah
kabupaten /kota
a.
Menjamin
terselenggaranya pendidikan inklusif (pasal 6 ayat (1)).
b.
Menjamin
tersedianya sumber daya pendidikan inklusif (pasal 6 ayat (2)).
c.
Wajib
menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan
pendidikan penyelenggaran inklusif (pasal 10 ayat (1)).
d.
Wajib
meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggaran inklusif (pasal 10 ayat
(3)).
e.
Melakukan
pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif (pasal 12).
Pemerintah
provinsi
a.
Membantu
tersedianya sumber daya pendidikan inklusif (pasal 6 ayat (3)).
b.
Membantu
penyediaan tenaga pembimbing khuus bagi satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif (pasal 10 ayat (4) )
c.
Membantu
meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggaran inklusif (pasal 10 ayat
(5)).
d.
Melakukan
pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif (pasal 12)
F.
Pelayanan
Pendidikan Inklusi
1. Sistem Integrasi (inklusi)
Dewasa ini trend baru tentang sistem
pelayanan PLB yang sedang berkembang ada diberi nama atau istilah yang dikenal
dengan maistreaming, integrasi, normalisasi, dan/atau terst restrictive
emvironment, mengandung makna bahwa sejauh mungkin anak luar biasa seyokyanya
beritegrasi dengan rekan-rekan yang normal, atau menghilangkan sejauh mungkin
keterpisahan mereka dari rekan-rekannya yang normal. Artinya bahwa konsep
tersebut memberikan kesempatan kepada anak luar biasa untuk belajar secara
bersama-sama dengan anak-anak biasa di sekolah umum, baik secara menyeluruh,
penuh, sebagian atau bersifat sosialisasi, gunanya adalah untuk mengembangkan
potensi anak seoptimal mungkin.
Untuk lebih mengetahui istilah tersebut dapat pahami penjelasan berikut: pertama, main streaming yaitu istilah yang dikembangkan dari keberadaan tentang dua sistem sekolah yang paralel (sejajar) antara pendidikan khusus (PLB) dan pendidikan umum yang diasumsi kedua pendidikan itu tidaklah sama namun anak tersebut berada dalam satu setting pendidikan, kedua , Integrasi yaitu anak luar biasa diperkirakan 10 % dari populasi usia sekolah untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak normal pada umumnya (mayoritas) menerima pengajaran di pendidikan umum atau maistreaming (jalur utama), ketiga, normalisasi yaitu menciptakan suatu lingkungan sosial dan pendidikan yang senormal mungkin bagi anak luar biasa, dan keempat, least restrictive (LRE), yaitu anak luar biasa tidak dipisahkan dengan lingkungan kelas, rumah, keluarga dan masyarakat biasa/normal.
Dalam merealisasikan konsep di atas, tentu akan membawa dampak terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan baik itu guru, konselor sekolah, orang tua siswa dan siswa itu sendiri baik ALB maupun yang bukan ALB. Sekalipun model inklusi ini belum memiliki dasar perundang-undangan yang kuat, tetapi ternyata sudah dilaksanakan di beberapa negara bagian di Amerika. Untuk di Indonesia penulis mencoba menawarkan konsep ini atau dengan kata lain bagaimana implikasinya bagi dunia pendidikan kita. Smith dan Neisworth (1975) mengutip ungkapan dari Deno dan sahabatnya Reynolds tentang Generalisasi dari integrasi (inklusi) yang dikembangkan secara terprogram untuk pembelajaran ALB dan dilakukan secara efektif, efisien, teroganisasi, ter-administrasi, dan tersaji, sedang-kan Dunn mengembangkan model yang bersumber dari Deno’s, sebagai dasarnya. Setting layanan pendidikan luar biasa model Deno’s tersusun secara berurutan yang terbagi dalam tujuh level sebagai berikut:
a. Penempatan pada kelas biasa (reguler).
Untuk lebih mengetahui istilah tersebut dapat pahami penjelasan berikut: pertama, main streaming yaitu istilah yang dikembangkan dari keberadaan tentang dua sistem sekolah yang paralel (sejajar) antara pendidikan khusus (PLB) dan pendidikan umum yang diasumsi kedua pendidikan itu tidaklah sama namun anak tersebut berada dalam satu setting pendidikan, kedua , Integrasi yaitu anak luar biasa diperkirakan 10 % dari populasi usia sekolah untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak normal pada umumnya (mayoritas) menerima pengajaran di pendidikan umum atau maistreaming (jalur utama), ketiga, normalisasi yaitu menciptakan suatu lingkungan sosial dan pendidikan yang senormal mungkin bagi anak luar biasa, dan keempat, least restrictive (LRE), yaitu anak luar biasa tidak dipisahkan dengan lingkungan kelas, rumah, keluarga dan masyarakat biasa/normal.
Dalam merealisasikan konsep di atas, tentu akan membawa dampak terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan baik itu guru, konselor sekolah, orang tua siswa dan siswa itu sendiri baik ALB maupun yang bukan ALB. Sekalipun model inklusi ini belum memiliki dasar perundang-undangan yang kuat, tetapi ternyata sudah dilaksanakan di beberapa negara bagian di Amerika. Untuk di Indonesia penulis mencoba menawarkan konsep ini atau dengan kata lain bagaimana implikasinya bagi dunia pendidikan kita. Smith dan Neisworth (1975) mengutip ungkapan dari Deno dan sahabatnya Reynolds tentang Generalisasi dari integrasi (inklusi) yang dikembangkan secara terprogram untuk pembelajaran ALB dan dilakukan secara efektif, efisien, teroganisasi, ter-administrasi, dan tersaji, sedang-kan Dunn mengembangkan model yang bersumber dari Deno’s, sebagai dasarnya. Setting layanan pendidikan luar biasa model Deno’s tersusun secara berurutan yang terbagi dalam tujuh level sebagai berikut:
a. Penempatan pada kelas biasa (reguler).
Integrasi
pada level ini , anak ditempatkan pada kelas dengan teman lain yang usianya
sama. Sebab mungkin penyimpangan yang ada padanya masih dapat difungsikan lagi
dengan disatukannya pada lingkungan sebaya. Pada sekolah tersebut disediakan
konsultan diagnostik pendidikan, guru khusus (PLB), suvevisor, konsultan
membaca atau psikolog sekolah.
b. Kelas reguler dengan tugas
tambahan
Disekolah
disamping kelas reguler mereka memiliki ruangan khusus. Sebagian besar
aktivitas belajarnya mereka tinggal bersama dalam kelas reguler.Bila anak-anak
tertinggal dalam belajarnya, mereka ditempatkan pada ruang sumber
(resource-room), dan mendapatkan layanan khusus oleh guru PLB. Disini dilatih
dan dikembangkan oleh guru profesional atau konsultan, sesuai dengan hambatan
yang dialami. Apabila dirasa sudah memiliki kemampuan yang setara mereka dikembalikan
pada kelas reguler.
c. Kelas khusuh paruh waktu
(part-time special class)
Program layanan pendidikan lebih
ditekankan pada penanganan masalah dengan menggunakan bermacam-macam alat
bantu. Bila kebutuhan mereka bertentangan dengan kebanyakan teman-temannya,
maka mereka diletakkan pada ruang sumber, dan pada bidang-bidang tertentu
mereka dapat ikut dan mereka disatukanpada kelas reguler.
d. Klas khusus penuh (full time
special class)
Pada level ini mereka sepenuhnya
berada pada klas khusus , dan membutuhkan atau membangun guru yang benar-benar
profesional, dan mempunyai keterampilan tinggi. Mereka akan berhubungan dengan
masalah-masalah pendidikan yang sulit. Pada level ini letak normalisasi
sosialnya terletak pada persamaan lokasi dan nama sekolah yang sama, dengan
demikian disela-sela belajarnya mereka dapat bermain bersama dengan teman-teman
yang normal.
e. Sekolah khusus (special school)
Anak-anak yang memiliki kelainan
yang berat tidak mungkin ditempatkan dikelas reguler, dan ini baru ditempatkan
disekolah luar biasa atau yang disebut dengan kelas khusus. Pada tingkat ini
mereka anak luar biasa sudah dikategorikan cacat berat atau sedang. Jadi
pelayanannya dilaksanakan secara terpisah dari sekolah reguler.
e.
Pembelajaran di rumah (homebound Intruction)
Anak
luar biasa secara fisik tidak mungkin dapat meninggalkan rumah, maka layanan
pendidikan luar biasa dilaksanakan dirumah. Model ini memang sangat
mahal.Tetapi secara hukum mereka mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan.
g. Penempatan di lembaga atau asrama
(institution or residential assignment).
Hal ini berarti bahwa sekolah mempunyai mandat untuk merencanakan dan menyiapkan program pendidikan terhadap anak yang tinggal dipusat rehabilitasi dan asrama.
Hal ini berarti bahwa sekolah mempunyai mandat untuk merencanakan dan menyiapkan program pendidikan terhadap anak yang tinggal dipusat rehabilitasi dan asrama.
2. Integrasi penuh ( Full Inclusion)
Inklusi berasal dari bahasa ingris
“inclusion” yang berarti pencantuman (termasuk pemasukan). Menurut Allan Galis
& C. Kenneth Tanner dalam Behring dkk. (1998) adalah:”..providing services
to students in the regular classroom, rather than pulling students out of
regular classroom to receive special services”. Pengertian layanan siswa pada
kelas reguler, disini yang dimaksudkan adalah anak cacat (anak luar bisa).
Dimana mereka selama ini mendapat layanan pendidikan pada sekolah khusus
(sekolah luar biasa) yang terpisah dari sekolah reguler. Konsep inklusi ini
menawarkan penyatuan pola layanan bagi ALB maupun anak normal dalam satu atap
pada sekolah reguler (sekolah anak normal).
Full inclusion mengakui adanya satu kesatuan sistem pendidikan , bukan sistem minoritas dan mayoritas sebagai implikasi dibawah model meinstreaming. Model ini meningkatkan suatu sistem kesatuan pendidikan formal semua anggotanya sama.
Full inclusion mengakui adanya satu kesatuan sistem pendidikan , bukan sistem minoritas dan mayoritas sebagai implikasi dibawah model meinstreaming. Model ini meningkatkan suatu sistem kesatuan pendidikan formal semua anggotanya sama.
Landasan Filosofis, ada tiga alasan
fundamental yang mendukung falsafah inklusi, sebagaimana yang disampaikan oleh
Yatvin dalam Galis (1995), diantaranya : Pertama, semua anak akan belajar
dengan sangat baik di kelas yang reguler, dimana ada organisasi yang fleksibel
dan pola pengajaran yang ada serta adanya dukungan manusia dan sarana bagi anak
dengan kebutuhan khusus, kedua, keyakinan pada diri anak bahwa dia berhak
mendapatkan tempat dimasyarakat sebayanya, merupakan prakondisi belajar, dan
ketiga, program terpisah yang memaksakan beban akademik tambahan, pengajaran
yang rendah kualitasnya, kecemasan sosial, dan status yang rendah pada anak
yang cacat akan membuat mereka tidak mendapatkan pendidikan yang sesungguhnya
menjadi haknya karena melanggar hak asasi mereka”.
Abdurahman (1994) berpendapat bahwa
manusia bukan hanya makhluk individu tetapi juga makhluk sosial. Oleh karena
itu, manusia berada pada dua kutub eksistensi, yaitu kutub eksistensi individu
dan kutub eksistensi sosial. Eksistensi manusia sebagai makhluk individu
tercermin dari kebhinekaan potensi potensi mereka sedangkan eksistensi manusia
sebagai makhluk sosial tercermin pada kebutuhan manusia untuk berintegrasi
dengan sesamanya.
Tujuan, adapun tujuan utama anak
luar biasa dalam inklusi adalah meningkatkan penggunaan waktu dan meningkatkan
kualitas fungsional pengajaran dalam kelas pendidikan reguler. Guru PLB
memberikan suatu persepsi yang lebih baik tentang harapan-harapan akademis dan
tingkat perilaku yang wajar. Anak-anak non anak luar biasa bekerjasama dengan
anak luar biasa baik dalam tugas maupun penyesuaian job sehingga anak luar
biasa ikut berpartisipasi dan tidak hanya menjadi seorang pengawas.
Konsep inklusi berawal dari konsep integrasi dimana inklusi adalah merupakan penyempurnaan dari model sebelumnya yaitu Deno,s Model yang telah diuraikan di atas
Konsep inklusi berawal dari konsep integrasi dimana inklusi adalah merupakan penyempurnaan dari model sebelumnya yaitu Deno,s Model yang telah diuraikan di atas
Model integrasi penuh (Full
Inclusion), yaitu model yang ditawarkan untuk sitem pendidikan di Indonesia
dalam rangka meningkatkan SDM serta mempersiapkan generasi muda luar biasa
dimasa mendatang, serta upaya menciptakan terciptanya normalisasi. Trend
tersebut adalah Integrasi penuh (full inclusion). Kami berpendapat demi untuk
menggalakkan wajib belajar 9 tahun, dan demi meratanya PLB diseluruh pelosok
tanah air, maka full inklusi (integrasi penuh) salah satu alternatif untuk bisa
mengatasinya.
Giongreco dalam Behring dkk. (1998)
menyatakan: Integrasi penuh sebagai suatu keberadaan dimana hanya terdapat satu
kesatuan sistem pendidikan formal yang semua peserta didik dididik secara wajar
tanpa memandang perbedaan status dengan anak normal. Selanjutnya Stainback
& stainback, Integrasi penuh tidak diartikan bahwa semua siswa akan didik
dengan menggunakan metode pengajaran yang sama atau mengerjakan tugas-tugas
untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama.
Integrasi penuh (full inclusion) berarti bahwa semua siswa luar biasa diberikan program pendidikan yang layak yang direfleksikan pada kemampuan dan kebutuhan siswa dengan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan. Dukungan-dukungan yang penting ini bisa dalam bentuk pengajaran yang khusus, perlengkapan yang disesuaikan dan/atau personal-personal yang khusus. Agar integrasi penuh ini dapat berhasil perlu adanya kolaborasi (kerjasama) antara guru pendidik umum, staf pendidikan khusus (PLB), dan konselor sekolah agar dapat memberikan program yang layak sebagai suatu proses, dan proses tersebut sangat berarti bagi semua siswa, sehingga ia memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan anak normal lainnya.
Integrasi penuh (full inclusion) berarti bahwa semua siswa luar biasa diberikan program pendidikan yang layak yang direfleksikan pada kemampuan dan kebutuhan siswa dengan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan. Dukungan-dukungan yang penting ini bisa dalam bentuk pengajaran yang khusus, perlengkapan yang disesuaikan dan/atau personal-personal yang khusus. Agar integrasi penuh ini dapat berhasil perlu adanya kolaborasi (kerjasama) antara guru pendidik umum, staf pendidikan khusus (PLB), dan konselor sekolah agar dapat memberikan program yang layak sebagai suatu proses, dan proses tersebut sangat berarti bagi semua siswa, sehingga ia memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan anak normal lainnya.
Artinya bahwa sistem pendidikan
untuk ALB benar-benar sudah menyatu dengan pendidikan anak normal lainya. Untuk
dimasa mendatang pelayanan pendidikannya tidak terpisah seperti yang berlansung
sekarang ini. Jadi di Indonesia itu nanti hanya ada satu pendidikan dasar dan
tidak ada pemisahan seperti sekarang ini SLB atau SDLB. Pelabelan tersebut
sudah menyatu di SD atau SLTP.
Manfaatnya dari integrasi penuh
Untuk dimasa depan tersebut keuntungan
yang diraih antara lain:
· Anak luar Bisa memperoleh peranan
yang lebih normal
· Akan memudahkan mengarahkan ALB
untuk menunjukkan perilaku-perilaku yang lebih baik
· Bagi anak normal lainnya akan dapat
memahami, sabar, dan menghargai perbedaan-perbedaan individual anak luar biasa
belajar menerima modifikasi aturan-aturan dalam proses belajar mengajar (PBM)
· Faktor penunjang sistem pendidikan
integrasi
Yang menjadi faktor penunjang dalam penyelenggaraan sistem pendidikan terpadu bagi anak luar biasa adalah: ALB pada umumnya mempunyai kemampuan atau potensi untuk didik dan dikembangkan.
Yang menjadi faktor penunjang dalam penyelenggaraan sistem pendidikan terpadu bagi anak luar biasa adalah: ALB pada umumnya mempunyai kemampuan atau potensi untuk didik dan dikembangkan.
· Miskipun pendidikan terpadu untuk
anak luar biasa belum semuanya dilembagakan secara formal maka tidaklah
berlebihan kalau anak luar biasa diterpadukan dengan anak normal lainnya
· Bertambahnya kesadaran orang tua
untuk menyekolahkan anaknyayang mengalami kelainan (ALB). Adanya kebijakan para penyelenggara
sekolah biasa untuk menerima ALB sebagai anak didik
· Adanya pendapat para ahli yang
memberikan keterangan sesuai dengan bidangnya. Dan semuanya itu dapat dijadikan
sumber imformasi bagi para pendidik ALB.
Agar pelaksanaan model pelayanan
integrasi dapat terlaksana maka perlu ditunjang dengan persiapan-persiapan
seperi : pelaksana/-personil pendidikannya, tenaga administrasi, dan kurikulum:
1. Guru, disamping guru untuk anak
normal disekolah integrasi juga ada guru yang berkualifikasi khusus sesuai
dengan profesinya. Seperti tercantum dalam pasal 20 ayat (2) PP/RI/No.72/1991.
Tenaga pendidik merupakan tenaga yang memiliki kualifikasi khusus sebagai guru
pada satuan pendidikan luar biasa.
2. Tenaga administrasi. Sangat
membantu dalam pelaksanaan sekolah integrasi yang dapat mengadministrasikan
keadaan atau keberadaan anak luar bisa (ALB) disekolah tersebut. Sehingga dapat
memprediksi keperluan lain yang akan dibutuhkan untuk pelaksanaan pendidikan
anak luar bisa (ALB) yang berada di sekolah terpadu.
3. Kurikulum, dimana
pengajarannya perlu adanya kolaboratif, ini berarti bahwa guru-guru pendidikan
umm dan khuss bersama dalam perencanaan dan penyajian pengajaran sesuai
dengankebutuhan –kebutuhan yang ditemukan dari setia anak baik anak luar biasa
(ALB) maupun non ALB. Guru pendidikan khusus (PLB) dilatih dalam pemberian
dalam pemberian penyesuaian kurikulum bagi ALB. Modifikasi dan adap tasi yang
memungkinkan ALB untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam kurikulum
pendidikan umum. Dalam hal ini guru pendidikan khusus dapat menggunakan cara
yang sistematis melalui tiga tahap yaitu: (1) menentukan kebutuhan-kebutuhan
siswa bagi perubahan-perubahan kurikulum secara spesifik, (2) melaksana-kan
perubahan-perubahan kurikulum tersebut, dan (3) mengevaluasi kemajuan siswa.
Tempat
dilaksanakannya pendidikan inklusif hendaknya dilaksanakan :
1.
Di sekolah.
2.
Di dalam keluarga.
3.
Di masyarakat.
G.
Alasan
Perlunya Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Alasan
Perlunya Pendidikan
1. Sesuai
dengan filosofi Bhineka Tunggal Ika dan ajaran agama.
2. Sekolah
segregatif menghambat anak yang membutuhkan pendidikan khusus dalam melakukan
penyesuaian sosial.
3. Menjamin
terbentuknya masyarakat yang demokratis.
4. Sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan.
5. Menghindarkan
siswa dari rendah diri dan arogansi.
6. Membiasakan
siswa menghargai pluralitas.
7. Memudahkan
siswa melakukan penyesuaian sosial.
8. Guru
dapat saling belajar tentang siswa.
9. Mutu
pendidikan masih belum memuaskan.
10. Masih
banyak anak usia sekolah belum mendapat layanan pendidikan yang baik.
11. Pendidikan
masih diskriminatif.
12. Pembelajaran
masih teacher centre
13. Proses
Belajar Mengajar (PBM) belum mengakomodasi kebutuhan siswa
14. Lingkungan
pendidikan masih belum ramah anak
15. Pembelajaran
masih belum berbasis learning style siswa.
16. PBM
belum dilaksanakan dengan aktif, kreatif, dan menyenangkan.
17. Pembelajaran
belum menghargai keberagaman.
H.
Fasilitas
yang Mendukung dalam Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Jenis Kurikulum
Kurikulum
yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya
menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum, yaitu kurikulum
tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta
didik sesuai dengan bahat dan minatnya.
Namun
demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus
sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat,
maka dalam implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi
(penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi
(penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah.
Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru
mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang
terkait.
Pengembangan
Kurikulum
Modifikasi/pengembangan
kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang
terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan
berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan
Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli
Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar
Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
Pelaksanaan Pengembangan
Kurikulum
Pengembangan
kurikulum dilaksanakan dengan:
1.
Modifikasi
alokasi waktu
Modifikasi alokasi
waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi
pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah
Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam
*
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak
berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
*
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat
dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
*
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak
tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
*
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam)
dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah
reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
*
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya
diturunkan sedikit.
*
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat
dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan
dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses
belajar-mengajar
*
Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis,
evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal;
*
Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual
setiap anak;
* Lebih terbuka (divergent);
Memberikan
kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen,
sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu
kelompok ke kelompok lain.
*
Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak
dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara
fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi
yang terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik.
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik.
Anak
dapat menjadi egois.Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran
kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui
pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan
kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan
tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan
kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan
jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik.
Dengan
demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis. Disesuaikan
dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe
auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah
menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah
menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih
mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak
monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki
tipe belajar tertentu saja.
Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, meninlai, dan
mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan
program pendidikan inklusif. Tenaga pendidik meliputi: guru kelas, guru mata
pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru
pendidikan khusus (GPK).
Sarana Dan Prasarana Pendidikan
Sarana
dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak
yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif
pada satuan pendidikan tertentu.
Pada
hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi,
tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi asesibilitas
bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Pemberdayaan Masyarakat
Pada hakekatnya
pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan
pemerintah. Oleh sebab itu para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan diharapkan
mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif secara
optimal.
Partisipasi dan
peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif antara lain dalam:
(1) perencanaan; (2) penyediaan tenaga ahli/profesional terkait;
(3) pengambilan keputusan; (4) pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi; (5)
pendanaan; (6) pengawasan; dan (7) penyaluran lulusan. Untuk mengoptimalkan
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan inklusi dapat diakomodasikan
melalui Wadah: (1) Komite sekolah, (2) dewan pendidikan; (3) forum-forum
pemerhati pendidikan inklusif.
I.
Implementasi
di Lapangan dalam Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Indonesia
Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus
2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk
mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap
penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis
dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak
yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
(Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Disamping
pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta
menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar
Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah
reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB
dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang
berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB
relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau
penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan
oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan
penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini
tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak
tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan
di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah
sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat
belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus.
Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti
dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di
Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara
formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa
sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi.
Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang
pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu
menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan
lain-lain.
J.
Kendala
Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Minimnya
sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa
sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi
sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga
sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi
ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan
langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus
berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh
siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang
cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih –
alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang
inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam
lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru
yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan
inklusif yang memasukkan unsur keragaman, nilai, budaya, sikap, bahasa bisa
menjadi alternatif bagi pendampingan anak sebagai manusia yang seutuhnya.
Pendidikan inklusif memberikan peran kepada sekolah sebagai laboratorium
kehidupan bagi anak. Dalam pendidikan inklusif, anak tidak dihindarkan dari
pendidikan di luar pendidikan akademis, tetapi didekatkan dengan keragaman dan
masalah.
Cara-cara
yang ditempuh melalui pembelajaran yang diberikan, lanjut dia, memungkinkan
anak menggali, lingkungan fisik yang ditata memungkinkan interaksi, sedang
komunikasi yang dibentuk mengarah pada dialog. Tetapi, pemaknaan inklusi masih
kerap diartikan secara sempit, yaitu dipahami sebagai pendidikan yang
mencampurkan anak berkebutuhan khusus dan anak bukan berkebutuhan khusus. Oleh
karena itu, sekolah memiliki peran untuk menyadarkan masyarakat sehingga anak
mampu memaknai segi kehidupan yang penuh masalah dan perbedaan. Warga sekolah,
mulai dari kepala sekolah, guru dan orang tua diharapkan menjadi warga yang
reflektif, karena anak memiliki sifat mudah dimasuki materi-materi baik yang
bersifat obyektif atau subyektif.
Sementara
itu, hak-hak anak harus mendapat jaminan pemenuhan, yang meliputi hak sipil,
hak pendidikan, hak kesehatan, keluarga dan pengasuhan serta perlindungan
khusus. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan
anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
B. Saran/Solusi
dalam Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Jika pemerintah
memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus
dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan
inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya.
Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru
untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar
yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan
mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding)
kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang
dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan
menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan
di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat
menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam
menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini
diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun
juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar