Minggu, 09 Juni 2013

Pendidikan Inklusi

PENDIDIKAN INKLUSI

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak melalui pendidikan di sekolah terdekat
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
B.  Rumusan
1.   Apa pendidikan inklusif itu?
2.   Mengapa pendidikan inkusif itu diperlukan?
3.   Kendala/Hambatan dalam Pelakasanaan Pendidikan Inklusi ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian 
1.   Pengertian ABK
Banyak istilah yang sering kita dengar dalam lingkungan masya-rakat luas tentang sebutan Anak Luar Biasa ( ALB). Istilah tersebut ada anak cacat, anak berkelaianan, anak tuna, dan lain sebagainya. Dengan penggunaan label istilah banyak dari mayarakat maupun tenaga profesi-onal lain selain tenaga pendidik luar biasa yang ragu atau bingung dari pemakaian istilah tersebut.
Kalau melihat dari sejarahnya bahwa istilah yang pertama kali yang muncul ditengah masyarakat adalah “cacat”, sedangkan istilah berke-lainan menunjukkan kepada keadaan yang sebenarnya yaitu anak yang mengalami kelainan. Dan istilah tuna mengambarkan seseorang mengalami kekurangan/ hambatan dalam segi fisik, mental, soisal maupun emosinya. Dalam bidang pendidikan yang dikatakan Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mempunyai penyimpangan/kelainan baik fisik, mental, sosial dan atau emosinya sehingga memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus.
Menurut pandangan Kirk dan Gallagher (1986) yang diterjemahkan Moh. Amin mengatakan bahwa Anak luar Biasa didefinisikan sebagai berikut” Anak luar Biasa sebagai anak yang berbeda dari rata-rata anak normal dalam berbagai hal: (1) ciri-ciri mental, (2) kemampuan panca indera, (3) kemampuan komunikasi, (4) perilaku sosial atau (5) sifat-sifat fisiknya. Perbedaan ini harus lah sampai pada tingkat tertentu sehingga anak tersebut membutuhkan praktek sekolah yang dimodifikasi kan atau pelayanan pendidikan khusus untuk mengembangkan kemampuannya yang tertinggi.
Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus PP.N0.72 Tahun 1991 Bab III, Ps. 3 tentang Anak Berkebutuhan Khusus berbunyi: Jenis-jenis dari ALB dapat dilihat dari berbagai ragam kelainan antara lain adalah :
1. Anak tunanetra,
Adalah mereka yang terganggu daya lihatnya sehingga mendapat kesulitan dalam mengikuti program pendidikan seperti program pendidikan anak normal lainnya, untuk itu bagi anak tunanetra perlu mendapatkan layanan, latihan serta bimbingan agar potensi yang dimiliki dapat dikembangkan.
2. Anak tunarungu
Mereka kekurangan atau kehilangan pendengaran walaupun telah diberikan ransangan tetapi tetap tidak dapat memahami atau menangkap reaksi yang ada, sehingga menghambat terhadap perkembanganya, dan dampaknya kepada kehidupan yang kompleks dengan demikian perlu layanan bimbingan dan pendidikan khusus
3. Anak tunagrahita
Adalah mereka yang tidak mampu mengikuti pendidikan dengan anak normal serta sulit berinteraksi sosial dengan masyarakat normal, hal ini karena akibat dari kemampuannya berada dibawah normal
4. Anak tunadaksa
Adalah mereka yang mengalami kelainan pada organ tubuhnya sehingga tidak dapat berfungsi (beraktivitas ) sebagaimana mestinya seperi orang normal lainnya.
5. Anak tunalaras
Adalah mereka yang menunjukkan tingkah laku emosi sosial yang tidak sesuai dalam bertingkah laku
6. Anak tunaganda
Adalah mereka yang mengalami kecacatan lebih dari satu (ganda kecacatan
7. Anak berbakat
Adalah mereka yang mempunyai kecerdasan luar biasa sehingga memungkinkan untuk berprestasi yang tinggi, namun hal ini tidak selalu atau dengan sendirinya terjadi, karena banyak faktor yang turut berperan dalam menentukan .
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
a.   Tuna Netra
b.   Tuna Rungu
c.   Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
d.   Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70
e.   Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
f.    Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
g.   Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)
h.   Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )
i.    Autis
j.    Korban Penyalahgunaan Narkoba
k.   Indigo
2.   Pengertian Inklusi
.      Pendidikan inklusif adalah penggabungan pandidikan regular dan pendidiakn khusus kedalamsatu sistem persekolahan yang dipersatukan untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua siswa.
Pendidikan inklusif bukan sekedar metode atau pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut permen 70 Tahun 2009 pasal 1 menyatakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi  kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang dilaksanakan di sekolah / kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali, meliputi : anak yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus sekolah karena sakit, kekurangan gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda agama, penyandang HIV/ AIDS, dan sebagainya. Mereka dididik dan diberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan cara yang ramah dan penuh kasih sayang tanpa diskriminasi.
Pendidikan inklusif adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidikan inklusif adalah pendidikan di sekolah biasa yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi yang memiliki kelainan (intelectual challenge), bakat istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidikan layanan khusus.
B.    Peran SLB Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusif yang diselenggarakan di sekolah regular sangat memerlukan dukungan teknis, terutama bagi anak dengan kecacatan khusus, seperti tuna netra, tuna grahita, tuna rungu, dan autism. Oleh karena itu pemerintah menyiapkan institusi yang membantu sekolah-sekolah regular penyelenggara pendidikan inklusif, berupa pusat sumber (Resourse Center). Lembaga ini dapat dibentuk secara khusus, atau memfungsikan SLB Negeri atau Swasta yang sudah ada dan memenuhi syarat untuk dipersiapkan menjadi pusat sumber, sehingga mampu melaksanakan fungsi dan peran sebagai Pusat Sumber.
Menurut Iim Wasliman (2009) Pusat Sumber (Resource Center) adalah lembaga khusus yang dibentuk dalam rangka pengembangan pendidikan inklusif  dan dapat dimanfaatkan oleh semua anak, khususnya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Orang tua, Keluarga, Masyarakat, Sekolah, Pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan untuk memproleh informasi yang seluas-luasnya, mendapatkan pelatihan berbagai keterampilan, memperoleh berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan  pendidikan inklusif.
Fungsi SLB sebagai pusat sumber dikemukakan juga oleh Iim Wasliman (2009) yaitu:
  1. Sebagai pengambil inisiatif dan Aktif melaksanakan pendidikan inklusif, serta aktif membantu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusif,
  2. Sebagai koordinator dalam memberikan layanan pendidikan inkusif bagi sejumlah sekolah regular di  gugusnya dan dengan berkolaborasi dengan pihak lain senantiasa berupaya untuk meningkatkan implementasi pendidikan inklusif,
  3. Sebagai pusat  dukungan kepada sekolah-sekolah reguler dan Sekolah Luar Biasa lainnya dalam pelaksanaan pendidikan inklusif
  4. Sebagai Pusat Informasi dan Inovasi di bidang pendidikan inklusif.
  5. Sebagai home base bagi kelompok  guru kunjung ke sekolah regular dalam melaksanakan bantuan teknis dalam layanan anak berkebutuhan khusus.
Adapun  peran SLB sebagai  pusat  sumber adalah (Iim wasliman, 2009):
  1. Memberikan informasi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan inklusif, baik kepada sekolah-sekolah regular, maupun SLB lainnya,
  2. Menyediakan bantuan asesmen yang rutin terhadap ABK,
  3. Memberikan layanan dan bimbingan kependidikan bagi ABK,
  4. Menjadi konsultan bagi semua pihak yang membutuhkan informasi, layanan, bimbingan dan penanganan khusus.
  5. Menjalin kerja sama dengan Dinas / Instansi / LSM dalam upaya implementasi pendidikan inklusif,
  6. Melakukan penelitian dan pengembangan,  inovasi implementasi pendidikan inklusif, menyusun strategi dan metodologi pembelajaran yang cocok bagi semua anak,
  7. Melakukan penanganan layanan pendidikan bagi ABK dan memberi serta menerima rujukan atau referensi dalam layanan pendidikan inklusi
  8. Merencanakan dan menyelenggarakan diklat pendidikan inklusif bagi guru- guru di sekolah reguler dan  SLB serta pihak lain yg membutuhkan.
  9. Menyediakan bantuan kepada berbagai pihak untuk meningkatkan layanan bagi ABK, serta menjadi fasilitator dan mediator bagi semua pihak dalam implementasi pendidikan inklusif,
  10. Mengatur guru yg ada di SLB untuk melakukan tugas tambahan sebagai Guru Pembimbing Khusus di Sekolah Inklusi
C.    Elemen- Elemen Dasar Pendidikan Inklusi
Elemen dasar pendidikan inklusi antara lain :
1.   Sikap guru yang positif tehadap keragaman.
2.   Interaksi promotif dalam pembelajaran kooperatif.
3.   Pengembangan kompetensi akademik yang seimbang dengan kompetensi social.
4.   Konsultasi kolaboratif antar professional.
5.   Hidup dan belajar dalam masyarakat.
6.   Hubungan kemitraan antara sekolah dan keluarga.
7.   Belajar dan berfikir independen.
8.   Belajar sepanjang hayat.
D.    Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi
Tujuan Pendidikan Inklusi
1.     Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutusesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
2.     Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Adapun Tujuan Pendidikan Inklusif lainnya
Pendidikan inklusif diselenggarakan dengan tujuan:
1.   Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
2.   Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
3.   Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
4.   Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
5.   Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Ciri-ciri Pendidikan Inklusif
1.    Siswa yang berusia sama duduk dalam kelas yang sama.
2.    Siswa saling bekerjasama dengan sesamanya.
3.    Siswa merasa kelas sebagai milik besama.
4.    Siswa memiliki pengalaman berhasil.
5.    Siswa belajar mengembangkan sikap toleran.
6.    Siswa belajar mengembangkan sikap empati.
7.    Guru menerima perbedaan.
8.    Guru mengembangkan dialog dengan siswa.
9.    Guru mendorong terjadi interaksi promotif antar siswa.
10.  Guru menjadikan sekolah menarik bagi siswa.
11.  Guru membuat siswa aktif.
12.  Guru mempertimbangkan perbedaan antar siswa dalam kelasnya.
13.  Guru menyiapkan tugas-tugas yang berbeda untuk siswa-siswanya.
14.  Guru fleksibel dan kreatif.
Landasan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
     Bhineka Tunggal Ika : Pengakuan kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi Tunggal sebagai khalifah Tuhan di muka bumi untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Landasan Religi
Manusia sebagai Khalifah Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia diciptakan sebagai makhluk individual differences agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.
3. Landasan Keilmuan
a.      Psikologi
b.     Sosiologi
c.      Anthropologi
d.     Biologi
e.      Ekonomi
f.      Politik
4.  Landasan Yuridis
a.   UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1: “setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.
b.   UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, pasal 3 menyatakan bahwa ” pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehi dupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa ” warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Pasal 32 menyebutkan ”penidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa” .
c.   UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,
d.   UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat,
e.   PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan,
f.    Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 /C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal Pendidikan Inklusi bahwa di setiap Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah,
g.   Deklarasi Bandung tanggal 8-14 Agustus 2004 tentang ”Indonesia menuju Pendidikan Inklusi”,
h.   Deklarasi Bukittinggi tahun 2005 tentang ” ”Pendidikan untuk semua” yang antara lain menyebutkjan bahwa ”penyelenggaraan dan pengembangan pengelolaan pendidikan inklusi ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, istitusi terkait, dunia usaha dan industri, orangtua dan masyarakat”.

E.    Tugas Pemerintah
Pemerintah kabupaten /kota
a.   Menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif  (pasal 6 ayat (1)).
b.   Menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif (pasal 6 ayat (2)).
c.   Wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan penyelenggaran inklusif (pasal 10 ayat (1)).
d.   Wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggaran inklusif (pasal 10 ayat (3)).
e.   Melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif (pasal 12).
Pemerintah provinsi
a.   Membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif (pasal 6 ayat (3)).
b.   Membantu penyediaan tenaga pembimbing khuus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif  (pasal 10 ayat  (4) )
c.   Membantu meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggaran inklusif (pasal 10 ayat (5)).
d.   Melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif (pasal 12)
F.     Pelayanan Pendidikan Inklusi
1.   Sistem Integrasi (inklusi)
Dewasa ini trend baru tentang sistem pelayanan PLB yang sedang berkembang ada diberi nama atau istilah yang dikenal dengan maistreaming, integrasi, normalisasi, dan/atau terst restrictive emvironment, mengandung makna bahwa sejauh mungkin anak luar biasa seyokyanya beritegrasi dengan rekan-rekan yang normal, atau menghilangkan sejauh mungkin keterpisahan mereka dari rekan-rekannya yang normal. Artinya bahwa konsep tersebut memberikan kesempatan kepada anak luar biasa untuk belajar secara bersama-sama dengan anak-anak biasa di sekolah umum, baik secara menyeluruh, penuh, sebagian atau bersifat sosialisasi, gunanya adalah untuk mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin.
Untuk lebih mengetahui istilah tersebut dapat pahami penjelasan berikut: pertama, main streaming yaitu istilah yang dikembangkan dari keberadaan tentang dua sistem sekolah yang paralel (sejajar) antara pendidikan khusus (PLB) dan pendidikan umum yang diasumsi kedua pendidikan itu tidaklah sama namun anak tersebut berada dalam satu setting pendidikan, kedua , Integrasi yaitu anak luar biasa diperkirakan 10 % dari populasi usia sekolah untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak normal pada umumnya (mayoritas) menerima pengajaran di pendidikan umum atau maistreaming (jalur utama), ketiga, normalisasi yaitu menciptakan suatu lingkungan sosial dan pendidikan yang senormal mungkin bagi anak luar biasa, dan keempat, least restrictive (LRE), yaitu anak luar biasa tidak dipisahkan dengan lingkungan kelas, rumah, keluarga dan masyarakat biasa/normal.
Dalam merealisasikan konsep di atas, tentu akan membawa dampak terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan baik itu guru, konselor sekolah, orang tua siswa dan siswa itu sendiri baik ALB maupun yang bukan ALB. Sekalipun model inklusi ini belum memiliki dasar perundang-undangan yang kuat, tetapi ternyata sudah dilaksanakan di beberapa negara bagian di Amerika. Untuk di Indonesia penulis mencoba menawarkan konsep ini atau dengan kata lain bagaimana implikasinya bagi dunia pendidikan kita. Smith dan Neisworth (1975) mengutip ungkapan dari Deno dan sahabatnya Reynolds tentang Generalisasi dari integrasi (inklusi) yang dikembangkan secara terprogram untuk pembelajaran ALB dan dilakukan secara efektif, efisien, teroganisasi, ter-administrasi, dan tersaji, sedang-kan Dunn mengembangkan model yang bersumber dari Deno’s, sebagai dasarnya. Setting layanan pendidikan luar biasa model Deno’s tersusun secara berurutan yang terbagi dalam tujuh level sebagai berikut:
a. Penempatan pada kelas biasa (reguler).
      Integrasi pada level ini , anak ditempatkan pada kelas dengan teman lain yang usianya sama. Sebab mungkin penyimpangan yang ada padanya masih dapat difungsikan lagi dengan disatukannya pada lingkungan sebaya. Pada sekolah tersebut disediakan konsultan diagnostik pendidikan, guru khusus (PLB), suvevisor, konsultan membaca atau psikolog sekolah.
b. Kelas reguler dengan tugas tambahan
Disekolah disamping kelas reguler mereka memiliki ruangan khusus. Sebagian besar aktivitas belajarnya mereka tinggal bersama dalam kelas reguler.Bila anak-anak tertinggal dalam belajarnya, mereka ditempatkan pada ruang sumber (resource-room), dan mendapatkan layanan khusus oleh guru PLB. Disini dilatih dan dikembangkan oleh guru profesional atau konsultan, sesuai dengan hambatan yang dialami. Apabila dirasa sudah memiliki kemampuan yang setara mereka dikembalikan pada kelas reguler.
c. Kelas khusuh paruh waktu (part-time special class)
Program layanan pendidikan lebih ditekankan pada penanganan masalah dengan menggunakan bermacam-macam alat bantu. Bila kebutuhan mereka bertentangan dengan kebanyakan teman-temannya, maka mereka diletakkan pada ruang sumber, dan pada bidang-bidang tertentu mereka dapat ikut dan mereka disatukanpada kelas reguler.
d. Klas khusus penuh (full time special class)
Pada level ini mereka sepenuhnya berada pada klas khusus , dan membutuhkan atau membangun guru yang benar-benar profesional, dan mempunyai keterampilan tinggi. Mereka akan berhubungan dengan masalah-masalah pendidikan yang sulit. Pada level ini letak normalisasi sosialnya terletak pada persamaan lokasi dan nama sekolah yang sama, dengan demikian disela-sela belajarnya mereka dapat bermain bersama dengan teman-teman yang normal.
e. Sekolah khusus (special school)
Anak-anak yang memiliki kelainan yang berat tidak mungkin ditempatkan dikelas reguler, dan ini baru ditempatkan disekolah luar biasa atau yang disebut dengan kelas khusus. Pada tingkat ini mereka anak luar biasa sudah dikategorikan cacat berat atau sedang. Jadi pelayanannya dilaksanakan secara terpisah dari sekolah reguler.
e.      Pembelajaran di rumah (homebound Intruction)
      Anak luar biasa secara fisik tidak mungkin dapat meninggalkan rumah, maka layanan pendidikan luar biasa dilaksanakan dirumah. Model ini memang sangat mahal.Tetapi secara hukum mereka mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan.
g. Penempatan di lembaga atau asrama (institution or residential assignment).
Hal ini berarti bahwa sekolah mempunyai mandat untuk merencanakan dan menyiapkan program pendidikan terhadap anak yang tinggal dipusat rehabilitasi dan asrama.
2.     Integrasi penuh ( Full Inclusion)
Inklusi berasal dari bahasa ingris “inclusion” yang berarti pencantuman (termasuk pemasukan). Menurut Allan Galis & C. Kenneth Tanner dalam Behring dkk. (1998) adalah:”..providing services to students in the regular classroom, rather than pulling students out of regular classroom to receive special services”. Pengertian layanan siswa pada kelas reguler, disini yang dimaksudkan adalah anak cacat (anak luar bisa). Dimana mereka selama ini mendapat layanan pendidikan pada sekolah khusus (sekolah luar biasa) yang terpisah dari sekolah reguler. Konsep inklusi ini menawarkan penyatuan pola layanan bagi ALB maupun anak normal dalam satu atap pada sekolah reguler (sekolah anak normal).
Full inclusion mengakui adanya satu kesatuan sistem pendidikan , bukan sistem minoritas dan mayoritas sebagai implikasi dibawah model meinstreaming. Model ini meningkatkan suatu sistem kesatuan pendidikan formal semua anggotanya sama.
Landasan Filosofis, ada tiga alasan fundamental yang mendukung falsafah inklusi, sebagaimana yang disampaikan oleh Yatvin dalam Galis (1995), diantaranya : Pertama, semua anak akan belajar dengan sangat baik di kelas yang reguler, dimana ada organisasi yang fleksibel dan pola pengajaran yang ada serta adanya dukungan manusia dan sarana bagi anak dengan kebutuhan khusus, kedua, keyakinan pada diri anak bahwa dia berhak mendapatkan tempat dimasyarakat sebayanya, merupakan prakondisi belajar, dan ketiga, program terpisah yang memaksakan beban akademik tambahan, pengajaran yang rendah kualitasnya, kecemasan sosial, dan status yang rendah pada anak yang cacat akan membuat mereka tidak mendapatkan pendidikan yang sesungguhnya menjadi haknya karena melanggar hak asasi mereka”.
Abdurahman (1994) berpendapat bahwa manusia bukan hanya makhluk individu tetapi juga makhluk sosial. Oleh karena itu, manusia berada pada dua kutub eksistensi, yaitu kutub eksistensi individu dan kutub eksistensi sosial. Eksistensi manusia sebagai makhluk individu tercermin dari kebhinekaan potensi potensi mereka sedangkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tercermin pada kebutuhan manusia untuk berintegrasi dengan sesamanya.
Tujuan, adapun tujuan utama anak luar biasa dalam inklusi adalah meningkatkan penggunaan waktu dan meningkatkan kualitas fungsional pengajaran dalam kelas pendidikan reguler. Guru PLB memberikan suatu persepsi yang lebih baik tentang harapan-harapan akademis dan tingkat perilaku yang wajar. Anak-anak non anak luar biasa bekerjasama dengan anak luar biasa baik dalam tugas maupun penyesuaian job sehingga anak luar biasa ikut berpartisipasi dan tidak hanya menjadi seorang pengawas.
Konsep inklusi berawal dari konsep integrasi dimana inklusi adalah merupakan penyempurnaan dari model sebelumnya yaitu Deno,s Model yang telah diuraikan di atas
Model integrasi penuh (Full Inclusion), yaitu model yang ditawarkan untuk sitem pendidikan di Indonesia dalam rangka meningkatkan SDM serta mempersiapkan generasi muda luar biasa dimasa mendatang, serta upaya menciptakan terciptanya normalisasi. Trend tersebut adalah Integrasi penuh (full inclusion). Kami berpendapat demi untuk menggalakkan wajib belajar 9 tahun, dan demi meratanya PLB diseluruh pelosok tanah air, maka full inklusi (integrasi penuh) salah satu alternatif untuk bisa mengatasinya.
Giongreco dalam Behring dkk. (1998) menyatakan: Integrasi penuh sebagai suatu keberadaan dimana hanya terdapat satu kesatuan sistem pendidikan formal yang semua peserta didik dididik secara wajar tanpa memandang perbedaan status dengan anak normal. Selanjutnya Stainback & stainback, Integrasi penuh tidak diartikan bahwa semua siswa akan didik dengan menggunakan metode pengajaran yang sama atau mengerjakan tugas-tugas untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama.
Integrasi penuh (full inclusion) berarti bahwa semua siswa luar biasa diberikan program pendidikan yang layak yang direfleksikan pada kemampuan dan kebutuhan siswa dengan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan. Dukungan-dukungan yang penting ini bisa dalam bentuk pengajaran yang khusus, perlengkapan yang disesuaikan dan/atau personal-personal yang khusus. Agar integrasi penuh ini dapat berhasil perlu adanya kolaborasi (kerjasama) antara guru pendidik umum, staf pendidikan khusus (PLB), dan konselor sekolah agar dapat memberikan program yang layak sebagai suatu proses, dan proses tersebut sangat berarti bagi semua siswa, sehingga ia memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan anak normal lainnya.
Artinya bahwa sistem pendidikan untuk ALB benar-benar sudah menyatu dengan pendidikan anak normal lainya. Untuk dimasa mendatang pelayanan pendidikannya tidak terpisah seperti yang berlansung sekarang ini. Jadi di Indonesia itu nanti hanya ada satu pendidikan dasar dan tidak ada pemisahan seperti sekarang ini SLB atau SDLB. Pelabelan tersebut sudah menyatu di SD atau SLTP.
Manfaatnya dari integrasi penuh
Untuk dimasa depan tersebut keuntungan yang diraih antara lain:
·     Anak luar Bisa memperoleh peranan yang lebih normal
·     Akan memudahkan mengarahkan ALB untuk menunjukkan perilaku-perilaku yang lebih baik
·     Bagi anak normal lainnya akan dapat memahami, sabar, dan menghargai perbedaan-perbedaan individual anak luar biasa belajar menerima modifikasi aturan-aturan dalam proses belajar mengajar (PBM)
·     Faktor penunjang sistem pendidikan integrasi
Yang menjadi faktor penunjang dalam penyelenggaraan sistem pendidikan terpadu bagi anak luar biasa adalah: ALB pada umumnya mempunyai kemampuan atau potensi untuk didik dan dikembangkan.
·     Miskipun pendidikan terpadu untuk anak luar biasa belum semuanya dilembagakan secara formal maka tidaklah berlebihan kalau anak luar biasa diterpadukan dengan anak normal lainnya
·     Bertambahnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknyayang mengalami kelainan (ALB). Adanya kebijakan para penyelenggara sekolah biasa untuk menerima ALB sebagai anak didik
·     Adanya pendapat para ahli yang memberikan keterangan sesuai dengan bidangnya. Dan semuanya itu dapat dijadikan sumber imformasi bagi para pendidik ALB.
Agar pelaksanaan model pelayanan integrasi dapat terlaksana maka perlu ditunjang dengan persiapan-persiapan seperi : pelaksana/-personil pendidikannya, tenaga administrasi, dan kurikulum:
1. Guru, disamping guru untuk anak normal disekolah integrasi juga ada guru yang berkualifikasi khusus sesuai dengan profesinya. Seperti tercantum dalam pasal 20 ayat (2) PP/RI/No.72/1991. Tenaga pendidik merupakan tenaga yang memiliki kualifikasi khusus sebagai guru pada satuan pendidikan luar biasa.
2. Tenaga administrasi. Sangat membantu dalam pelaksanaan sekolah integrasi yang dapat mengadministrasikan keadaan atau keberadaan anak luar bisa (ALB) disekolah tersebut. Sehingga dapat memprediksi keperluan lain yang akan dibutuhkan untuk pelaksanaan pendidikan anak luar bisa (ALB) yang berada di sekolah terpadu.
3.  Kurikulum, dimana pengajarannya perlu adanya kolaboratif, ini berarti bahwa guru-guru pendidikan umm dan khuss bersama dalam perencanaan dan penyajian pengajaran sesuai dengankebutuhan –kebutuhan yang ditemukan dari setia anak baik anak luar biasa (ALB) maupun non ALB. Guru pendidikan khusus (PLB) dilatih dalam pemberian dalam pemberian penyesuaian kurikulum bagi ALB. Modifikasi dan adap tasi yang memungkinkan ALB untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam kurikulum pendidikan umum. Dalam hal ini guru pendidikan khusus dapat menggunakan cara yang sistematis melalui tiga tahap yaitu: (1) menentukan kebutuhan-kebutuhan siswa bagi perubahan-perubahan kurikulum secara spesifik, (2) melaksana-kan perubahan-perubahan kurikulum tersebut, dan (3) mengevaluasi kemajuan siswa.
Tempat dilaksanakannya pendidikan inklusif hendaknya dilaksanakan :
1.      Di sekolah.
2.      Di dalam keluarga.
3.      Di masyarakat.
G.   Alasan Perlunya Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Alasan Perlunya Pendidikan
1.     Sesuai dengan filosofi Bhineka Tunggal Ika dan ajaran agama.
2.     Sekolah segregatif menghambat anak yang membutuhkan pendidikan khusus dalam melakukan penyesuaian sosial.
3.     Menjamin terbentuknya masyarakat yang demokratis.
4.     Sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
5.     Menghindarkan siswa dari rendah diri dan arogansi.
6.     Membiasakan siswa menghargai pluralitas.
7.     Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial.
8.     Guru dapat saling belajar tentang siswa.
9.     Mutu pendidikan masih belum memuaskan.
10.  Masih banyak anak usia sekolah belum mendapat layanan pendidikan yang baik.
11.  Pendidikan masih diskriminatif.
12.  Pembelajaran masih teacher centre
13.  Proses Belajar Mengajar (PBM) belum mengakomodasi kebutuhan siswa
14.  Lingkungan pendidikan masih belum ramah anak
15.  Pembelajaran masih belum berbasis learning style siswa.
16.  PBM belum dilaksanakan dengan aktif, kreatif, dan menyenangkan.
17.  Pembelajaran belum menghargai keberagaman.
H.    Fasilitas yang Mendukung dalam Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Jenis Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum, yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bahat dan minatnya.
Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.
 Pengembangan Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1.     Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
* Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak;
*  Lebih terbuka (divergent);
Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
* Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik.
Anak dapat menjadi egois.Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik.
Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis. Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
Tenaga Pendidik 
Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, meninlai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusif. Tenaga pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pendidikan khusus (GPK).

Sarana Dan Prasarana Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu.
Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi asesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Pemberdayaan Masyarakat
Pada hakekatnya pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh sebab itu para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan diharapkan mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif secara optimal.
Partisipasi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif antara lain dalam: (1)  perencanaan; (2)  penyediaan tenaga ahli/profesional terkait; (3) pengambilan keputusan; (4) pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi; (5) pendanaan; (6) pengawasan; dan (7) penyaluran lulusan. Untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan inklusi dapat diakomodasikan melalui Wadah: (1) Komite sekolah, (2) dewan pendidikan; (3) forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.
I.      Implementasi di Lapangan dalam Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.
J.     Kendala Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendidikan inklusif yang memasukkan unsur keragaman, nilai, budaya, sikap, bahasa bisa menjadi alternatif bagi pendampingan anak sebagai manusia yang seutuhnya. Pendidikan inklusif memberikan peran kepada sekolah sebagai laboratorium kehidupan bagi anak. Dalam pendidikan inklusif, anak tidak dihindarkan dari pendidikan di luar pendidikan akademis, tetapi didekatkan dengan keragaman dan masalah.
Cara-cara yang ditempuh melalui pembelajaran yang diberikan, lanjut dia, memungkinkan anak menggali, lingkungan fisik yang ditata memungkinkan interaksi, sedang komunikasi yang dibentuk mengarah pada dialog. Tetapi, pemaknaan inklusi masih kerap diartikan secara sempit, yaitu dipahami sebagai pendidikan yang mencampurkan anak berkebutuhan khusus dan anak bukan berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, sekolah memiliki peran untuk menyadarkan masyarakat sehingga anak mampu memaknai segi kehidupan yang penuh masalah dan perbedaan. Warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru dan orang tua diharapkan menjadi warga yang reflektif, karena anak memiliki sifat mudah dimasuki materi-materi baik yang bersifat obyektif atau subyektif.
Sementara itu, hak-hak anak harus mendapat jaminan pemenuhan, yang meliputi hak sipil, hak pendidikan, hak kesehatan, keluarga dan pengasuhan serta perlindungan khusus. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
B.    Saran/Solusi dalam Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar